Narasi
Jurus Ngirit di Luar Negeri
Selama di luar negeri, wartawan harus mengeluarkan jurus irit.
SUBROTO, JURNALIS REPUBLIKA
Liputan ke luar negeri adalah salah satu kesempatan yang ditunggu wartawan. Apalagi reporter baru seperti aku.
Kesempatan datang ketika aku baru dua tahun di Republika. Meliput SEA Games ke-20 Tahun 1999 di Brunei Darussalam. Walaupun cuma kawasan ke ‘Kalimantan Utara’, tapi bagiku itu sudah luar biasa. Ini perjalanan pertamaku ke luar negeri.
Republika memberangkatkan lima orang ke SEA Games Brunei Darussalam. Aku, Dani Rahmat Bagja, Mabroer MS, Zis Mujahid Hassan, dan fotografer Nurwahyono
Kami berlima belum ada yang pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Jadi ini memang benar-benar pengalaman perdana bagi kami.
Kami berangkat dari Jakarta malam hari. Sekretariat redaksi, Sabri, mengatakan sudah memesankan dua kamar hotel buat kami selama seminggu di Brunei. Masalah timbul karena begitu sampai di hotel, ternyata belum ada catatan booking atas nama wartawan Republika.
Meliput kegiatan olahraga multi event cukup berat. Tiap hari kami harus berbagi tugas ke arena pertandingan yang jaraknya berjauhan.
Terpaksa malam itu mencari hotel. Dengan diantar liaison officer (LO) Sea Games kami berkeliling menari hotel. Dapat. Kami sementara menginap di Terrace Hotel.
Besoknya pindah hotel lagi. Hotel-hotel banyak yang sudah penuh. Ini adalah event olahraga terbesar pertama yang digelar Brunei Darussalam. Untuk pertama kalinya mereka menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara itu.
Kami mendapat hotel yang jaraknya agak jauh dari Stadion Hasanal Bolkiah dan media center. Hotel Crown namanya. Karena memesan mendadak, tarifnya lebih mahal, melebihi plafon yang ditetapkan kantor.
Meliput kegiatan olahraga multi event cukup berat. Tiap hari kami harus berbagi tugas ke arena pertandingan yang jaraknya berjauhan. Berangkat pagi-pagi dan kembali hotel malam hari. Benar-benar melelahkan.
Jadi keluar negeri ini bukan jalan-jalan. Justeru kerja keras. Sekalinya kami berwisata, hanya sempat mengunjungi Masjid Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin. Itu masjid kerajaan Kesultanan Brunei yang menjadi salah satu tujuan wisata di Kota Bandar Seri Begawan.
Kami juga harus pandai-pandai mengelola anggaran agar cukup sampai akhir acara. Yang pasti anggaran tak terduga sudah keluar di hari pertama, untuk menginap di Hotel Terrace. Ini ditambah lagi dengan tarif Hotel Crown yang melebihi bujet.
Jadi selama di Brunei kami menjalankan jurus irit. Baik untuk pengeluaran bersama, maupun pengeluran pribadi. Transportasi misalnya, kami memilih angkutan gratis. Berangkat dari hotel harus menyesuaikan jadwal bis jemputan yang disediakan panitia SEA Games. Jangan sampai terlambat, karena itu artinya terpaksa naik taksi. Ongkos lagi. Begitu juga pulangnya dari media center ke hotel, menunggu bus jemputan.
Soal makanan kami juga tak kalah hemat. Untuk makan malam, banyak penjual yang berdagang di seputaran stadion. Harga makanan di pedagang musiman di sekitar Stadion Hassanal Bolkiah cukup murah. Rasanya juga enak. Cocok dengan lidah Indonesia. Dan yang penting lagi, halal. Yang agak ribet adalah makan siang. Seringkali kami tak sempat makan siang atau tak menemukan makanan di lokasi liputan.
Tapi aku tak kurang akal menyiasati makan siang. Agar tak kelaparan, saat sarapan pagi di hotel, tas ransel aku penuhi dengan berbagai macam penganan. Ada kue, roti, sampai jus botol. Pegawai restoran hotel yang kebanyakan dari Indonesia hanya tertawa melihat aksiku tiap pagi.
Lumayanlah. Dengan bekal itu, perut aman jika terpaksa baru bisa bertemu makanan sampai sore di seputaran media center. Selain itu, ini jurusku agar bisa mengirit pengeluaran.
Kegiatan mbekel itu aku lakukan tiap hari selama seminggu di Hotel Crown. Semua lancar-lancar saja. Penjaga restoran sudah hapal kebiasaanku setiap sehabis sarapan pagi.
Hari terakhir di Brunei, pagi-pagi seperti biasa kami sarapan. Tapi hari itu aku tak perlu membawa bekal makanan lagi, karena akan langsung ke bandara. Saat akan beranjak meninggalkan restoran salah seorang pelayan perempuan memanggil.
“Mas, koq nggak bawa bekal ? Nanti kelaparan,” kata si Mbak yang kuketahui berasal dari Cianjur.
Suaranya cukup keras. Sejumlah orang yang sedang makan tersenyum-senyum mendengarnya. Di hotel ini memang menginap cukup banyak orang Indonesia.
Malunya minta ampun. Sambil berbisik aku bilang bahwa hari itu akan pulang. “Jangan keras-keras Mbak. Malu. Saya hari ini pulang, jadi nggak perlu bawa makanan lagi.”
“Nggak apa Mas. Buat di jalan. Di bandara nunggunya kadang lama,” kata si Mbak dengan volume suara yang tak diturunkan.
Sejumlah orang yang tadi hanya tersenyum-senyum, tertawa terbahak-bahak. Dasar orang Indonesia. Maunya gratis. Mungkin begitu, pikir mereka.
Si Mbak itu memang baik, tapi terlalu polos. Masa soal bekal itu ngomongnya keras-keras. Maluku tak terkira. Rasanya ingin kucopot saja mukaku waktu itu.
Hasil mengirit selama di Brunei ada hasilnya ternyata. Ini pertama kalinya aku bisa membelikan oleh-oleh untuk banyak teman di kantor dan untuk semua keluarga besar. Sekalian pamer bahwa aku pernah berangkat keluar negeri.
Karena dolar AS sedang naik tinggi, aku juga bisa membeli sejumlah peralatan elektronik sesampainya di Jakarta. Mantap kan?
Tips meliput di luar negeri
Sesuaikan perlengkapan sesuai musim di negara yang dituju
Pastikan masa kadaluarsa pasport tidak lebih dari tiga bulan
Perhatikan apakah menukar dolar lebih baik di Tanah Air atau negara tujuan
Belajar percakapan sederhana bahasa lokal jika negara tujuan tidak menggunakan bahasa Inggris
Bawa mi instan dan coklat untuk berjaga-jaga jika kesulitan mendapatkan makanan
Pastikan tidak membawa barang-barang yang dilarang
Pastikan hotel tempat menginap
Bawa dokumen lengkap dan passport jika melakukan perjalanan, terutama bila sendiri
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.