Relawan memasang poster partisipasi pilkada di Markas Republik Aeng-Aeng, Solo, Jawa Tengah, Jumat (2/10). | Maulana Surya/ANTARA FOTO

Tajuk

Mengawal Netralitas ASN dalam Pilkada 2020

Pilkada 2020 yang menghabiskan dana Rp 20,46 triliun itu harus dikawal dan dijaga bersama-sama.

Meskipun sempat muncul desakan dari berbagai kalangan agar ditunda, proses dan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 terus bergulir. Pesta demokrasi di 270 daerah di Tanah Air--sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota--itu akan digelar di tengah pandemi Covid-19. 

Selain dibayangi ancaman penyebaran Covid-19, isu SARA dan praktik politik uang, Pilkada 2020 pun dihadapkan pada peta kerawanan lain, yakni netralitas aparatur sipil negara (ASN). Hasil riset yang dilakukan Indonesia Indicator (I2) pada akhir September lalu, netralitas ASN dalam penyelenggaraan pilkada menjadi isu yang disorot media massa. 

Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, netralitas ASN menjadi isu kerawanan pilkada nomor empat yang disorot media. Ini menandakan bahwa isu netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2020 menjadi hal yang krusial. Walaupun medio September lalu, lima kementerian/lembaga telah menandatangani surat keputusan bersama (SKB) tentang pedoman pengawasan netralitas ASN selama Pilkada 2020, nyatanya pelanggaran masih saja terjadi. 

 

 
Keterlibatan oknum ASN sebagai tim sukses kandidat kepala daerah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan adalah noda yang mengotori makna demokrasi. 
 
 

 

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat sebanyak 492 ASN terbukti melanggar netralitas Pilkada 2020. Jumlah dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2020 yang masuk ke KASN sebanyak 694 ASN. Jumlah ini terhitung sampai 30 September pekan lalu. Dalam praktiknya di lapangan, pelanggaran netralitas ASN itu patut diduga bisa lebih banyak lagi. Karena itu, pengawasan terhadap netralitas ASN ini harus lebih digencarkan dan ditingkatkan lagi. 

Keterlibatan oknum ASN sebagai tim sukses kandidat kepala daerah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan adalah noda yang mengotori makna demokrasi. Sebagai abdi negara, para ASN sudah seharusnya bersikap netral terhadap semua kandidat kepala daerah. 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN telah menegaskan, penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN harus berdasarkan asas netralitas. Setiap ASN terikat oleh kode etik. Salah satunya adalah bersikap dan bertindak netral saat pemilihan kepala daerah. Karena itu, setiap ASN dilarang mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan terlibat dalam kegiatan kampanye. Selain itu, ASN terutama para pejabat eselon dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye. 

Keberpihakan oknum ASN sebagai tim sukses kandidat tersebut biasanya bermotif mengejar jabatan strategis jika kandidat yang didukungnya menang. Sehingga muncul istilah tim sukses dan bukan tim sukses. Praktik seperti ini tentu tak bisa dibenarkan. Sebab, jika pengangkatan pejabat di pemerintah daerah kemudian didasarkan keberpihakan ASN saat pilkada tentu akan merusak sistem. ASN yang profesional dan memiliki prestasi boleh jadi tak bisa menduduki jabatan strategis karena tak masuk tim sukses. 

Maka itu, harus ada sanksi yang tegas dan keras bagi oknum ASN yang terbukti terlibat dalam tim sukses calon kepala daerah. Harus ada efek jera. Dan seharusnya, sanksi dijatuhkan kepada kontestan yang terbukti melibatkan ASN sebagai bagian tim sukses bayangan.

Masyarakat sebagai pemilik suara harus benar-benar selektif dan kritis dalam memilih kepala daerahnya. Ini saatnya, masyarakat harus mulai berani menolak segala bentuk praktik politik uang. 

Selama masyarakat masih senang menerima politik uang, jangan pernah berharap akan mendapatkan pemimpin yang baik. Selain itu, masyarakat juga harus ikut mengawasi ASN yang tak netral saat pelaksanaan pilkada. Laporkan segera bila menemukan oknum-oknum ASN yang terbukti menjadi tim sukses. 

Kita tentu berharap, Pilkada 2020 yang dihelat pada masa pandemi ini benar-benar bisa menghasilkan kepala daerah yang berkualitas. Kepala daerah yang mampu memimpin dan mengelola provinsi serta kota/kabupaten dengan amanah dan profesional. 

Harapannya tentu, tak akan ada lagi kepala daerah yang berakhir atau dijebloskan ke jeruji besi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pilkada 2020 yang menghabiskan dana Rp 20,46 triliun itu harus dikawal dan dijaga bersama-sama. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat