Buku tentang Buya Hamka | Republika/Agung Supriyanto

Khazanah

Buya Hamka, PKI, dan Utusan Jenderal Nasution

Buya Hamka sebagaimana umumnya kaum ulama di Tanah Air kerap menerima persekusi dari kaum komunis.

 

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka adalah seorang tokoh dengan banyak predikat. Ia menjalani peran di tengah masyarakat tidak hanya sebagai ulama atau mubaligh. Sosok berdarah Minangkabau itu juga merupakan sastrawan, sejarawan, dan politikus. Hebatnya, segenap kemampuan itu diperolehnya dari usaha di luar sekolah formal alias autodidak.

Salah seorang putranya, H Rusydi Hamka, memotret riwayat kehidupan sang ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu dalam buku berjudul Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2016). Anak sulung Buya Hamka itu sejak kecil selalu mendampingi sang ayah dalam berbagai kesempatan dakwah dan perjuangan. Alhasil, banyak peristiwa yang berhasil direkam tokoh jurnalistik itu, mulai dari perkara di dalam rumah hingga di tengah umat dan masyarakat.

Karena itu, buku ini tidak hanya mengupas sosok pribadi Buya Hamka, tetapi juga sejumlah fakta sejarah yang beririsan dengan perjalanan hidup sang penulis Tafsir al-Azhar. Lahir pada 17 Februari 1908, Hamka telah mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman penjajahan, hingga era Indonesia merdeka di bawah rezim Presiden Sukarno (Orde Lama) dan Soeharto (Orde Baru).

Pada zaman Orde Lama, Rusydi menuturkan, Buya Hamka sebagaimana umumnya kaum ulama di Tanah Air kerap menerima persekusi dari kaum komunis. Meskipun pernah memberontak berkali-kali pada masa penjajahan dan revolusi (1948), Partai Komunis Indonesia (PKI) dapat terus berkembang di Indonesia. Bahkan, penguasa cenderung merangkul kendaraan politik kubu komunis itu di pemerintahan.

Pada saat itu, Rusydi mengenang, ayahandanya tidak hanya dikenal sebagai seorang dai, tetapi juga wartawan yang memimpin majalah Panji Masyarakat. PKI girang bukan main ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) meletus pada 1958. Sebab, yang terlibat dalam prahara itu tidak hanya kelompok militer antikomunis, tetapi juga tokoh-tokoh politikus dari partai Islam Masyumi. Hamka tergabung dalam kelompok Masyumi sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, bahkan duduk di Konstituante mewakili fraksi partai tersebut. Karenanya, ia pun turut merasakan bagaimana PKI memanfaatkan momen PRRI untuk mendiskreditkan lawan politik komunis di mata penguasa.

photo
Buku memoar tentang Buya Hamka - (DOK IST)
 

Pada 5 Juli 1959, Sukarno akhirnya mengeluarkan Dekret Presiden. Isinya menetapkan pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD 1945. Rusydi mengingat, waktu itu keadaan para pemimpin Partai Masyumi kian terjepit. Setiap hari, mereka selalu waswas. Rumah Buya Hamka pun tak jarang didatangi aparat yang berupaya menakut-nakuti diri dan keluarganya.

 

 

Selama dua pekan para petugas menginterogasi ayahnya “tidak berhenti-henti, siang-malam, petang-pagi”

 

RUSYDI HAMKA, anak Buya Hamka.
 

Pada 27 Januari 1964, bertepatan dengan awal Ramadhan 1383 H, Buya Hamka dijemput paksa dari kediamannya. Penjemputnya menuding tanpa bukti bahwa Hamka “merencanakan pembunuhan” terhadap Presiden Sukarno. Mengutip memoar Hamka, Rusydi menggambarkan bahwa selama dua pekan para petugas menginterogasi ayahnya “tidak berhenti-henti, siang-malam, petang-pagi”. Bahkan, sang alim sempat jatuh sakit sehingga menjalani perawatan medis meskipun masih dengan status tahanan politik.

Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin Masyumi tidak bisa lagi mengeluarkan suaranya. Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito sempat mendesak agar Presiden Sukarno diajukan ke pengadilan karena dianggap telah melanggar undang-undang dasar. Namun, Bung Karno tak pernah menghiraukannya. Malah, Prawoto-lah yang kemudian ditahan tanpa pernah diadili, sebagaimana nasib Buya Hamka.

Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964. Status itu diikuti tahanan rumah selama dua bulan dan tahanan-kota selama dua bulan. Beruntung, kata Rusydi, para penggawa Masyumi telah mendirikan masjid besar yang letaknya tak jauh dari kediaman Hamka. Jadilah ayahnya itu menyibukkan dirinya dengan aktif memimpin jamaah Masjid Agung Kebayoran Baru—kini Masjid Agung al-Azhar Jakarta.

Menurut Rusydi, masjid itu menjadi tempat ayahnya berhijrah dari keributan-keributan politik yang diciptakan oleh Bung Karno serta diperparah oleh agitasi kaum komunis masa itu. Secara berangsur-angsur dan seiring berjalannya waktu, jamaah masjid tersebut semakin bertambah. Salah satu penyebabnya, mereka amat tertarik pada kajian tafsir Alquran yang digelar Hamka secara rutin di sana. Rusydi menjelaskan, umumnya jamaah terkesan dengan cara penyajian sang Buya yang tidak hanya informatif dan bernas, tetapi juga menyejukkan hati.

“Kita mulai perjuangan dari masjid, selama ini kita lalai memperhatikan masjid karena terlalu sibuk di parlemen,” tulis Rusydi Hamka, menirukan perkataan ayahnya kepada koleganya dan jamaah Masjid Agung Kebayoran Baru suatu hari.

Di antara beberapa orang terkemuka yang menaruh perhatian pada Buya Hamka saat itu adalah Jenderal Sudirman, komandan Seskoad Bandung; dan Kolonel Muchlas Rowi, kepala Pusroh Islam Angkatan Darat di Jakarta.

Bahkan, menurut Rusydi, kedua perwira ABRI tersebut juga sempat datang ke rumah untuk berbicara tentang banyak hal. Utamanya, situasi negara dan nasib umat Islam di bawah rezim Orde Baru yang amat dekat pada komunis.

Dalam salah satu kesempatan, penulis buku ini juga sempat mendengar secara langsung pembicaraan antara ayahnya dan seorang utusan Jenderal AH Nasution. Pihak ABRI ternyata mengajak Buya Hamka untuk menerbitkan Panji Masyarakat kembali setelah dibreidel Bung Karno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta, “Demokrasi Kita”.

“Kita harus bekerja sama, yah, saling menunggangi untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya komunis,” begitu kata utusan Pak Nas—panggilan AH Nasution—seperti dikutip Rusydi.

Maka, terbitlah majalah Gema Islam pada 15 Januari 1962. Latar sejarah itu diceritakan dengan perinci oleh Rusydi Hamka. Di samping itu, masih banyak peristiwa lainnya yang berkenaan dengan Buya Hamka dijelaskan dalam buku setebal 387 halaman itu. Karya ini dapat menjadi referensi utama bagi publik yang ingin mengetahui kiprah dan konteks kesejarahan Buya Hamka.

Tentunya, Rusydi juga mengisahkan sepak terjang ayahnya ketika zaman Orde Baru hingga akhir hayatnya. Pemerintahan Soeharto yang mulanya dianggap publik sebagai harapan baru, justru menjadi cenderung otoriter. Peraih gelar doktor honoris causa Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, itu juga pernah merasakan bagaimana arogansi presiden kedua RI itu. Umpamanya, ketika pemerintah melalui kementerian agama mendesak MUI untuk mencabut fatwa haram atas perayaan Natal bersama bagi umat Islam. Pengarang buku Sejarah Umat Islam itu lebih memilih mundur dari jabatannya selaku ketua umum MUI daripada menuruti kemauan penguasa.

Kesehatan Buya Hamka menurun beberapa waktu selepas mengundurkan diri dari MUI. Pada 18 Juli 1981, ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Keadaannya begitu lemah sampai-sampai harus melaksanakan wudhu dengan cara tayamum. Siangnya, kondisinya drop hingga dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan, beberapa organ tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi. Fisiknya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung.

Pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung. Tak lama kemudian, suami dari Sitti Raham (menikah 1929) dan Sitti Khadijah (menikah 1973) itu mengembuskan napas terakhirnya. Ia wafat pada Jumat, 24 Juli 1981.

Akhir kata, karangan Rusydi Hamka ini merupakan salah satu buku hebat yang menceritakan tentang ulama hebat. Banyak teladan sikap dan pemikiran Buya Hamka yang bisa diambil hikmahnya melalui risalah karya tokoh politik sekaligus dunia pers ini. Karena ditulis dari sudut pandang orang terdekat, Pribadi dan Martabat Buya Hamka dapat menguak nuansa psikologis dari seorang ulama besar dunia Melayu itu.

DATA BUKU

Judul: Pribadi dan Martabat Buya Hamka

Penulis: H Rusydi Hamka

Penerbit: Penerbit Noura

Tahun: 2016

Tebal: 387 halaman

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat