Gedung Mahkamah Agung. | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

MA-KPK Memanas Soal Korting Hukuman

KPK belum menerima salinan putusan lengkap secara resmi dari MA terkait 22 perkara.

JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menjawab kritikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait tren pengurangan hukuman koruptor melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Baru-baru ini, MA kembali memotong hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terpidana korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-el), Irman dan Sugiharto. 

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA, Abdullah menegaskan, Majelis Hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi. Ia meminta kepada siapa pun agar membaca secara lengkap setiap putusan sebelum memberikan komentar. Hal itu menjawab pernyataan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang meminta MA menjelaskan alasan di balik sejumlah keputusan PK. 

"Saya dan siapa pun tetap harus menghormati putusan apa adanya. Jika memberikan komentar lebih bijak membaca putusan lebih dahulu. Setelah mengetahui legal reasoning-nya baru memberikan komentar, kritik maupun saran-saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," kata Abdullah, Rabu (30/9). 

Sebaliknya, KPK meminta MA segera mengirimkan salinan putusan Peninjauan Kembali (PK) 22 terpidana korupsi yang dikkurangi masa hukumannya. "Hingga saat ini KPK belum menerima salinan putusan lengkap secara resmi dari MA terkait putusan majelis PK atas sekitar 22 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (30/9).

photo
Jubir KPK Ali Fikri. - (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Dia mengatakan, KPK berharap agar MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut. Dia melanjutkan, hal itu supaya KPK dapat pelajari lebih lanjut apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim.

"Saat ini setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para napi korupsi," kata Ali lagi. KPK kembali melontarkan kritik terhadap MA soal banyaknya koruptor yang mendapatkan potongan masa hukuman setelah mengajukan PK. KPK meminta MA agar tidak selalu mengabulkan permohonan tersebut.

menurut Ali, jangan sampai para terpidana korupsi ini menjadikan permohonan PK kepada MA itu sebagai celah untuk mendapatkan potongan masa hukuman. Lanjutnya, hal tersebut bisa saja dilakukan setelah melihat banyaknya permohonan yang dikabulkan di tingkat PK.

Dia menegaskan, salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan adanya hukuman yang memberikan efek jera kepada para koruptor. Dia mengatakan, hukuman tersebut diharapkan akan mengingatkan calon pelaku lain agar tidak akan melakukan hal yang sama.

photo
Mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman (kanan) dan Sugiharto (kiri) saat akan menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi KTP elektronik dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/1). Keduanya dikurangi masa hukumannya oleh Mahkamah Agung belakangan. - (ANTARA FOTO)

KPK mencatat setidaknya sudah 22 terpidana korupsi mendapatkan potongan masa hukuman berdasarkan putusan MA di tingkat PK. Hal tersebut terjadi mulai 2019 hingga saat ini. Terakhir, MA kembali mengabulkan PK dan memangkas masa hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto. MA telah memberikan putusan yang memotong terpidana yang terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tersebut.

Hukuman penjara Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman berkurang dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara berdasarkan putusan PK tersebut. Sementara mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil, Sugiharto dipangkas dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 10 tahun penjara.

Pertimbangan Majelis Hakim tingkat PK mengurangi hukuman keduanya, lantaran Irman dan Sugiharto telah ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tertanggal 12 Juni 2017.

Hukuman Anas Urbaningrum

MA juga kembali menyunat hukuman terpidana kasus korupsi melalui pengabulan PK, kemarin. Kali ini giliran mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. 

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Anas Urbaningrum tersebut dengan pidana penjara selama 8 tahun ditambah dengan pidana denda Rp 300  juta apabila tidak diganti maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kepada Republika, Rabu (30/9).

Andi mengatakan, MA mengabulkan permohonan PK Anas pada Rabu (30/9) siang. Dalam putusan PK yang diadili oleh Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial, Sunarto dan anggota majelis yaitu Andi Samsan Nganro serta Prof M Askin tersebut terdapat beberapa alasan. 

photo
Anas Urbaningrum menjawab pertanyaan wartawan saat menunggu menjalani sidang lanjutan Peninjau Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (12/7).  - (ANTARA FOTO)

Pertama, uang dan fasilitas yang diterima Anas, baik melalui PT Adhi Karya maupun Permai Group, adalah dihimpun dari dana-dana hasil perolehan keuntungan dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta fee-fee dari perusahaan lain karena perusahaan tersebut telah memenangkan berbagai proyek pengadaan barang dan jasa yang kemudian disubkontrakkan kepada perusahaan lain atau perusahaan lain yang mengerjakan proyek tersebut.

Alasan kedua, dana tersebut kemudian sebagian dijadikan sebagai marketing fee di bagian pemasaran untuk melakukan lobi-lobi usaha agar mendapatkan proyek yang didanai APBN. Ketiga, tidak ada satu pun saksi dari pihak PT Adhi Karya dan Permai Group yang menerangkan Anas Urbaningrum melakukan lobi-lobi kepada pemerintah agar perusahaan itu mendapatkan proyek.

Alasan keempat tidak ada bukti segala pengeluaran uang dari perusahaan itu atas kendali Anas Urbaningrum. Kelima, hanya ada satu saksi, yaitu M Nazaruddin, yang menerangkan demikian. Satu saksi tanpa didukung alat bukti adalah unus testis nullus testis yang tidak mempunyai nilai pembuktian.

Alasan keenam, proses pencalonan sebagai Ketum PD tidak pernah berbicara bagaimana uang didapat dalam rangka pencalonan Anas menjadi Ketua Umum. Anas hanya bicara perihal visi dan misi untuk ditawarkan dalam kongres di Bandung. Ketujuh, uang yang didapatkan untuk penggalangan dana pencalonan sebagai Ketum PD adalah penggalangan dana dari simpatisan atas dasar kedekatan dalam organisasi. 

 
photo
Anas Urbaningrum (kanan) mengikuti sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (26/7).- (ANTARA FOTO)

Alasan kedelapan, dengan demikian, dakwaan pasal 12a UU Tipikor yang diterapkan judex jurist (kasasi) tidak tepat karena pemberian dana maupun fasilitas tersebut dilakukan sebelum Anas menduduki jabatan tersebut.

Sementara alasan kesembilan, MA menilai yang telah dilakukan Anas Urbaningrum adalah Pasal 11 UU Tipikor, yaitu penyelenggara negara (anggota DPR-2009-2014) yang menerima hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.

Sebelumnya, di tingkat Pertama atau Pengadilan Tipikor Jakarta, Anas divonia 8 Tahun bui, namun di tingkat Banding menjadi 7 tahun.  KPK kemudian mengajukan kasasi terhadap putusan itu sehingga Mahkamah Agung memperberat Anas menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp5 miliar subsidair 1 tahun 4 bulan kurungan dan ditambah membayar uang pengganti Rp57,59 miliar subsider 4 tahun kurungan dan masih ditambah hukuman pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

Tidak terima atas Putusan Kasasi, Anas mengajukan PK pada Juli 2018. Dalam putusan PK yang baru diputuskan Rabu (30/9) siang tersebutlah MA mengurangi lagi hukuman Anas menjadi 8 tahun. 

Namun untuk pidana tambahan, yakni pencabutan hak politik, majelis PK tetap menghukum Anas tak boleh dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak Anas selesai menjalani pidana pokok. Untuk uang pengganti, tidak ada perubahan yaitu Anas harus mengembalikan uang Rp 57 miliar dan 5,2 ribu dolar AS.

Adapun pasal yang sebelumnya dikenakan juga kepada Anas, yakni Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dianggap hakim tidak tepat atau tidak terbukti. Sehingga kini Anas hanya dijerat dengan Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat