Sejumlah massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Anti Komunis (Gertak) membakar spanduk saat berunjuk rasa di Taman Apsari, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (30/9). Aksi itu mengangkat tema | ANTARA FOTO

Khazanah

Jangan Lupakan Sejarah PKI Membantai Umat Islam

Keberhasilan PKI menguasai Madiun disertai dengan penjarahan dan pembunuhan umat Islam.

Setiap tanggal 30 September masyarakat Indonesia teringat dengan peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, yang mana pada saat itu terjadi pembantain yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka bahkan tak segan-segan membantai para kiai dan ulama.

Buku berjudul Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya menjelaskan bahwa PKI merupakan gerakan sosial politik yang menjadi ancaman bagi negeri ini. Partai yang menganut ideologi Marxisme-Komunisme ini ingin mengganti ideologi Pancasila.

Meletusnya peristiwa Madiun pada 18 September 1948 merupakan usaha ideologi sosialis kiri untuk mewujudkan Negara Komunis Indonesia. Dengan berbagai aksi yang dilancarkan kepada rakyat Madiun, kemudian gerak pendukung PKI berhasil menduduki wilayah-wilayah di sekitar Madiun, seperti Magetan, Ponorogo, dan beberapa daerah lainnya.  

Untuk melancarkan tujuannya menguasai keresidenan Madiun, PKI terus melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting. Bahkan, para ulama, santri, dan para pemimpin partai Islam Indonesia di Masyumi ditangkap dan dibunuh.

Perlawanan pun dilakukan oleh umat Islam. Masyarakat yang tergabung dengan Masyumi melawan gerakan PKI yang menyerang, menumpas orang-orang Islam serta menjarah dan merampas perbendaharaan milik masyarakat setempat.

Sejarawan Agus Sunyoto menceritakan fakta-fakta bagaimana PKI melancarkan pemberontakannya. Ada ribuan nyawa umat Islam termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan.

Saat itu, keberhasilan PKI menguasai Madiun disertai dengan penjarahan, penangkapan sewenag-wenang terhadap umat Islam. Bahkan mereka tidak segan untuk menembak hingga masyarakat Madiun saat itu ketakutan.

Menurut Agus, pada 1948 pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Pada masa itu, orang-orang dengan pakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver menembak atau membunuh siapapun yang dianggap musuh PKI.

Tidak hanya itu, mayat-mayat juga banyak bergelimpangan di jalanan. Bendera merah putih dirobek dan diganti dengan bendera merah berlambang palu arit, bahkan potret Sukarno diganti dengan potret Muso, pemimpin PKI.

Keganasan PKI di Magetan

Pada 1948, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur juga terjadi pembantaian pejuang, ulama, dan tokoh masyarakat oleh orang-orang PKI. Tragedi pembantaian PKI saat itu juga menjadi catatan kelam dalam sejarah yang menimpa kaum santri dan ulama.

Salah satu yang menjadi incaran PKI adalah Pondok Pesantren Cokrokoptopati Ibnu Sabil Takeran, Magetan. Dalam sejarahnya, Pesantren Ibnu Sabil Takeran dikenal sebagai basis Partai Masyumi. Di sana pula para tokoh-tokoh Masyumi, para ulama besar dan kaum santri biasa berkumpul.

Kekejaman PKI pada masa itu hingga kini masih dikenang kuat oleh masyarakat Magetan. Semua tragedi itu kini dapat disaksikan melalui Monumen Soco yang terletak di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Magetan.

Monumen itu menjadi simbol sejarah kebrutalan PKI terhadap warga Magetan. Tepat di bawah monumen itulah, dulunya mayat-mayat korban pembantaian PKI dari kalangan ulama dan santri dibuang.

Saat itu PKI menciduk para ulama untuk kemudian dibunuh. Misalnya saja dengan membujuk, merayu hingga menangkap mengatasnamakan pemerintah. Ulama yang terciduk itu kemudian digiring ke sebuah sumur hingga kemudian dihabisi nyawanya.

Di Monumen Soco terdapat bukti gerbong maut dan sumur yang digunakan untuk mengangkut dan membuang ratusan korban. Salah satu gerbong yang dulunya digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil gula itu kini diletakkan sebagai bukti sejarah. Bekas sumur yang dijadikan tempat pembuangan sudah ditutup dan diatasnya dibangun sejenis tugu kecil.

Di dekat sumur itu juga dibangun prasasti nama-nama korban pembataian PKI. Di sumur itu ditemukan tak kurang dari 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal.

Di antara nama-nama yang terpacak di monumen Soca itu adalah pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno Magetan, KH. Sulaiman Zuhdi. Beliau merupakan salah seorang kiai yang tidak hanya pandai dalam bidang agama, namun juga sebagai pengamal tarekat Naqsyabandiyyah-Khalidiyyah. Ia juga mampu menciptakan tenaga pembangkit listrik bertenaga air pada 1938, membuat pabrik rokok, membuat pabrik kain tenun (tekstil), dan menyamak kulit hewan.

Kiai Sulaiman juga dikenal sebagai pejuang gigih kemerdekaan di barisan tentara Hizbullah. Ia merupakan salah satu komandan dan panutan dalam kesatuannya yang berkedudukan di Mojokerto. Disamping itu, Kiai Sulaiman sangat dikenal oleh masyarakat Magetan sebagai pemimpin yang disegani.

Pada masa kemerdekaan, Kiai Sulaiman kemudian menjadi penasehat Bupati Magetan, Sudibjo. Namun, keduanya akhirnya meninggal dunia pada 1948 September karena keganasan PKI ketika melakukan petualangan politik di Madiun, yang dikenal dengan Madiun Affair.

Selain Kiai Sulaiman, beberapa nama lain yang menjadi korban pembantaian PKI di Desa Soco adalah Jaksa R Moerti, Kiai Muhammad Suhud yang merupakan ayah mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud, Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah lainnya. 

Selain Monumen Soca, ada juga Monumen Keganasan PKI yang terletak di Rejosari, Kawedanan, Magetan. Di sana terpacak 26 nama korban pembataian PKI. Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun.

Kiai Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam sumur, Kiai Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra Kiai Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Menyasar Pondok Modern Gontor

photo
KH Imam Zarkasyi berdiri dan KH Ahmad Sahal duduk bersama. Keduanya merupakan korban keganasan pemberontakan PKI di Madiun 1948 yang hampir merenggut nyawa mereka. - (Pondok Modern Darussalam Gontor)

Sejak 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Setelah Magetan, Ponorogo juga menjadi sasaran berikutnya. Kiai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. Kemudian PKI geser ke Ponorogo dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor.

Di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, keadaan yang semula tenang menjadi penuh kekhawatiran. Meskipun jarak antara Gontor dan Madiun terpaut sekitar 40 kilometer, semua peristiwa itu membuat para santri resah. Mereka khawatir akan menjadi korban situasi yang tidak menguntungkan itu.

Sebagian santri kemudian ada yang minta izin pulang, khususnya mereka yang bertempat tinggal tidak jauh dari pondok. Sementara itu yang lain masih banyak yang tetap tinggal di dalam pondok. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal sebagai pimpinan Pondok Pesantren Gontor mencoba bersikap tenang sambil berpikir tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengatisipasi keadaan tersebut.

Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi kemudian bermusyawarah dengan beberapa santri seniornya, seperti Ghozali Anwar dan Shoiman Lukmanul Hakim. Dari musyawarah itu lalu ditetapkan bahwa melawan pemberontak sesuatu yang tidak mungkin. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri dari para pemberontak dengan cara mengungsi.

Dalam buku berjudul //Dari Gontor Merintis Pesantren Modern//, dijelaskan bahwa untuk menjaga pondok selama pengungsian berlangsung sekaligus menghadapi PKI jika sewaktu-waktu datang , secara khusus kedua kiai tersebut menugaskan santrinya, Shoiman untuk menjaga Pondok Modern Darussalam Gontor selama kiai mengungsi.

Muballigh Alumni Gontor, Ahmad Ghozali Fadli dalam tulisannya menjelaskan bahwa setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor. Mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak.

Buku-buku santri juga dibakar habis. Peci dan baju-baju santri yang tidak terbawa juga mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Alquran mereka injak dan bakar.

Aksi sepihak oleh PKI dalam bentuk kekerasan ternyata masih berlanjut dan muncul ke permukaan sejak 1960. Meletusnya Gerakan 30 September 1965 seakan menjadi antiklimaks. Namun, sejarah tragedi G30S/PKI tidak perlu diungkap secara panjang dalam kesempatan ini karena sudah banyak terdapat di buku-buku sejarah dan media massa.

Peran ulama menumpas PKI

Setelah Indonesia merdeka, PKI merupakan partai terbesar setelah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan partai Nahdlatul Ulama (NU). Setelah tragedi pemborantakan 1948, PKI kembali melancarkan aksinya pada 1965. Saat itu, para ulama khususnya dari kalangan NU mempunyai peran penting menumpas gerakan 30 September itu. Salah satunya KHR As’ad Syamsul Arifin, ulama dan pahlawan nasional yang membesarkan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo.

Dalam buku KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Hasan Basri menjelaskan bahwa kala itu Situbondo juga dilanda aksi-aksi sepihak PKI dan selanjutnya kontra aksi pengganyangan oleh kaum santri.

Sebagai ulama senior yang kala itu menjabat sebagai Syuriah NU Cabang Situbondo dan juga sebagai penasehat pribadi Perdana Menteri Idham Chalid, Kiai As’ad saat itu selalu mengadakan kontak dengan Jakarta untuk mendapatkan konfirmasi yang benar terkait dengan situasi politik nasional.

Ketika peristiwa berdarah G30S/PKI meletus, kekuatan NU terbilang sangat solid. Hampir seluruh ulama NU di persada Indonesia menjadi rujukan dan legitimasi bagi penumpasan antek-antek PKI, termasuk Kiai As’ad.

Menurut keterangan saksi hidup di Situbondo, peran Kiai As’ad saat itu sangat menentukan. Hampir semua gerakan penumpasan baik oleh ABRI maupun gerakan anti-PKI, terlebih dahulu mendapat konfirmasi Kiai As’ad

Kiai As’ad mengutuk PKI yang selalu menjadi biang kerok pemberontakan. “Semua ini ulah PKI. PBNU harus mendesak pemerintahan agar membubarkan PKI,” kata Kiai As’ad dikutip dari buku KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat