IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Ketika ‘Neraka’ Presiden Lebanon Viral

Bagi banyak warga Lebanon, negara mereka memang sudah lama seperti neraka.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Kata ‘neraka’ yang diucapkan Presiden Lebanon Michel Aoun, Selasa lalu (22/11/ 2020), terus jadi krontroversi. Waktu itu, ia sedang menggelar konferensi pers di Istana Baabda terkait sulitnya membentuk pemerintahan yang dipercayakan kepada Mustafa Deeb, yang baru ditunjuk sebagai perdana menteri baru.

Seorang wartawati bertanya, apa yang akan terjadi bila orang yang Anda tunjuk tetap gagal membentuk kabinet? ‘’Rayihin ‘alaa jahannam,’’ katanya singkat dalam dialek lokal. Ia pun langsung meninggalkan tempat.  Maksudnya, ‘Lebanon akan jadi neraka jahanam’.

Beberapa menit setelah konferensi pers, ‘rayihin ‘alaa jahannam’ langsung viral di media sosial, memunculkan pro-kontra berkepanjangan. 

Perkataan Presiden Aoun tentang ‘neraka’ jelas menunjukkan kondisi Lebanon yang makin parah. Di tengah kehidupan rakyat yang sulit, sang presiden pun terus gagal membentuk pemerintahan. 

Salah satu penyebabnya adalah pembagian kekuasaan berdasarkan sekte-sekte dan kelompok keagamaan: eksekutif, legislatif, hingga ke komandan militer dan kepolisian. Koalisi yang dibangun pun sangat rumit, lintas sekte dan antar-kelompok. Belum lagi intervensi asing melalui sekte-sekte atau kelompok tadi.

 
Terlepas dari perkara kontroversi  ‘neraka’ sang presiden, bagi banyak warga Lebanon, negara mereka memang sudah lama seperti neraka.
 
 

Kondisi ini telah menyebabkan jatuh bangunnya pemerintah. Bahkan seringkali perdana menteri yang ditunjuk membutuhkan berbulan-bulan hingga tahun, hanya untuk membentuk pemerintahan berdasarkan koalisi dan pembagian kelompok ini. Usulan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang beberapa hari terakhir bolak-balik ke Lebanon, untuk membentuk kabinet semi profesional pun tampaknya sulit dilaksanakan.

Terlepas dari perkara kontroversi  ‘neraka’ sang presiden, bagi banyak warga Lebanon, negara mereka memang sudah lama seperti neraka, di semua tingkatan—politik, sektarian, ekonomi, sosial, kesehatan hingga kehidupan sehari-hari mereka. Dan, yang menjadi tertuduh adalah Presiden Aoun sendiri, yang selama berkuasa telah membawa Lebanon bagaikan neraka—membangun koalisi asal berkuasa dan menolak mengundurkan diri.

Gambaran neraka Lebanon, mari saya kutipkan dari tulisan Sawsan al Abtah di media al Sharq al Awsat berikut ini. Guru besar di Universitas Lebanon yang juga kolomnis tentang Timur Tengah ini menuturkan, tiba-tiba saja banyak warga Lebanon yang melarikan diri menyeberang ke Eropa, dengan segala cara, termasuk menjadi imigran gelap dan dengan menaiki perahu butut sekali pun.  

Gelombang imigran gelap ini sudah berlangsung sejak muncul aksi-aksi demonstrasi rakyat pada 17 Oktober tahun lalu, memprotes kinerja pemerintah yang buruk, harga-harga kebutuhan pokok yang naik, dan kehidupan yang semakin sulit. Puncaknya setelah ledakan besar di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus lalu. Ledakan yang telah memporakporandakan ibukota Lebanon.

Alasan mereka berkeras meninggalkan Lebanon pun serupa: menganggur, penghasilan kecil, putus asa, atau khawatir terhadap masa depan anak-anak mereka. Gelombang imigran gelap ke daratan Eropa itu berlangsung aman dan nyaman. Tidak menimbulkan gejolak atau respon negatif, karena berlangsung tanpa korban. Ada semacam perasaan tahu sama tahu di masyarakat.

Namun, sebuah kapal yang berlayar pada 7 September lalu telah membuat heboh seantero Lebanon. Kapal ini membawa 50 penumpang, terapung-apung di tengah laut, kehabisan bahan bakar. Tidak ada air, tidak ada makanan. Di dalamnya ada bayi dan perempuan. Mereka hanya menunggu nasib baik atau kematian. Para awak kapal telah meninggalkan mereka. Para korban menyebut mereka sebagai ‘pedagang darah’, yang hanya peduli pada uang. Ataukah memang kondisi seperti ini yang harus ditanggung para imigran gelap?

Tanpa peristiwa tragis luar biasa, pers tidak akan bergerak, rakyat tidak marah, dan emosi tidak akan muncul. Dan, kapal yang menyisakan 35 penumpang selamat itu telah membuat gempar masyarakat Lebanon. Mereka marah. Dan, tulis Sawsan, pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa. 

Setelah delapan hari terapung-apung di tengah laut, kapal itu berhasil diselamatkan. Sejumlah 15 orang telah menemui Tuhan mereka alias meninggal dunia. Jenazah mereka dikuburkan di laut, dibawa ombak, dan  menjadi santapan ikan. Salah satu jenazah yang terdampar di pantai ditemukan di saku bajunya sepucuk surat, mengabarkan dua anak yang masih kecil telah meninggal dunia karena kekurangan air dan makanan. 

Namun, apa yang diceritakan Zainab, korban selamat yang kemudian ditemui Sawsan al Abtah, sangat menyayat kalbu. Zainab adalah ibu dari salah seorang anak yang meninggal dunia tadi. Ia berlayar bersama suami dan keempat anaknya. Bungsunya yang bernama Sofyan, belum genap dua tahun, meninggal dunia setelah dua hari berlayar. 

Zainab mengalami penderitaan batin yang sangat mengerikan. Tidak ada yang bisa mengalahkan penderitaan seorang ibu ketika dia melihat tubuh anaknya membusuk di depan matanya. Bahkan ia tidak memiliki kemewahan untuk menguburkan anaknya di pemakaman tanah yang layak. Zainab terus menangis, teringat pamandangan mayat anaknya yang membengkak akibat pengaruh air dan garam setelah ia mengikatnya ke perahu.

Mendengar kisah Zainab, tutur Sawsan, telah membuat dirinya pusing dan mual. Hingga kini Zainab masih hidup dalam mimpi buruk yang ia tidak ingin bangun. Ia ingin memastikan apa yang ia derita hanyalah mimpi, yang sayangnya adalah kenyataan.  

 

 
Para elite politik pun saling tuduh dan menjatuhkan. Kekuasaan konsesional yang setelah bertahun-tahun menjadi ologarki politik dan monopoli ekonokomi telah menyebabkan Lebanon ke ambang kehancuran. 
 
 

 

Namun, yang membuat terkejut Sawsan, begitu Zainab tenang ia pun bertanya, "Anda tentu mengenal banyak orang berdasarkan pekerjaanmu? Dapatkah Kamu menunjukkan kepada saya siapa yang bisa membantu kami pergi meninggalkan Lebanon?"

Di Lebanon, menurut Sawsan al-Abtah, cerita-cerita tentang imigran gelap seperti itu sudah pada tingkat membosankan—saking banyaknya.  Ada yang berlayar atas inisiatif sendiri, dengan bantuan teman atau kepincut berimigrasi lantaran omong-omong tetangga atau berita media sosial. 

Berita warga yang berhasil berimigrasi ke luar negeri sudah seperti virus. Cepat menyebar dan menghinggapi orang-orang untuk menempuh hal yang sama. Hal inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh para calo nakal untuk mengambil keuntungan tanpa mau menanggung risiko.

Lalu siapa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi? 

Para elit politik pun saling tuduh dan menjatuhkan. Kekuasaan konsesional yang setelah bertahun-tahun menjadi ologarki politik dan monopoli ekonokomi telah menyebabkan Lebanon ke ambang kehancuran. Apalagi ketika para pemimpin kelompok dan sekte keagamaan yang berkuasa masing-masing membangun aliansi dengan kekuatan-kekuatan asing.

Kondisi Lebanon yang dulu berjuluk Parisnya Timur Tengah — karena aman, nyaman, dan indah — pun berubah jadi neraka, lantaran akumulasi ketidakmampuan elite penguasa untuk memastikan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat