Petugas mengisi data perolehan suara pasangan calon di lembar C-KWK saat uji coba Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) pemilihan serentak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/9). | ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Tajuk

Melihat Desember 2020

Belum lagi kita harus memikirkan pada Desember, diprediksi, ada 7.000 kasus per hari.

Desakan penundaan pemilihan kepala daerah terus menguat. Setelah Ahad kemarin, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan sikapnya, mengimbau pemerintah menunda pilkada. Kemarin, Pengurus Pusat Muhammadiyah juga mengimbau hal serupa, menunda pilkada akhir tahun ini sampai kondisi lebih memungkinkan. 

Sudah dua ormas Islam terbesar di negara ini bersikap tegas. Mengapa pemerintah seolah menutup telinga? Apakah kurang jelas situasi pagebluk virus Covid-19 ini di mata pemerintah? Kondisi penyebaran virus belum juga bisa diatasi. 

Kemarin saja Indonesia mencetak rekor harian kasus tertinggi, lebih dari 4.100 kasus per hari. Kasus harian Covid dari berbagai daerah terus meningkat. Secara nasional, tidak ada tanda-tanda penurunan tren kasus harian. 

 
Tentu saja prediksi kasar ini kita harap tidak terjadi. Kita berharap, pemerintah menemukan strategi yang lebih sangkil (efisien) dan mangkus (efektif) untuk melawan Covid-19 sehingga bisa menahan penyebaran. 
 
 

Dengan laju kasus harian yang amat cepat, sebenarnya cukup bisa diprediksi, apa yang akan terjadi pada Desember nanti saat pilkada. September, angka kasus harian mencapai 4.000 kasus secara rerata.

Dengan kondisi tetap, tanpa ada perubahan strategi pencegahan pagebluk, kita bisa asumsikan, angka kasus harian mencapai 5.000 kasus per Oktober. Desember, kemungkinan besar sudah mencapai 7.000 kasus per hari.

Tentu saja prediksi kasar ini kita harap tidak terjadi. Kita berharap, pemerintah menemukan strategi yang lebih sangkil (efisien) dan mangkus (efektif) untuk melawan Covid-19 sehingga bisa menahan penyebaran. Tapi, bagaimana bila tidak? Bersiaplah untuk menghadapi yang terburuk, berharaplah yang terbaik pada masa mendatang. 

Pemerintah, kita yakin, sudah memiliki angka prediksi kasus harian ini sampai Desember. Mengingat bagaimana ngototnya seluruh lini menteri untuk menyelenggarakan pilkada akhir tahun. Seolah menunda pilkada akan berdampak amat buruk secara politik, sosial, dan kesehatan publik. Benarkah demikian? Kita harus mengkritisi betul posisi pemerintah ini. 

Apalagi, argumen yang terus disampaikan para menteri sebenarnya argumen berbasis administratif. Yang dengan sendirinya, kalau kita melihat situasi kedaruratan pagebluk saat ini, amat bisa didebat kepentingannya. Sehingga yang tersisa dari argumen itu adalah kepentingan politik kelompok belaka.

 
Sudah di depan mata: Kalau pemerintah berpikir jernih dan mengedepankan kesehatan publik, opsi penundaan pilkada harus diambil.
 
 

Dalam situasi pagebluk seperti ini, dengan tren kasus yang terus meningkat, sudah semestinya pemerintah memosisikan UU Karantina Kesehatan sebagai acuan utama. Bukan undang-undang politik. Lalu, bagaimana solusinya?

Sudah di depan mata: Kalau pemerintah berpikir jernih dan mengedepankan kesehatan publik, opsi penundaan pilkada harus diambil. Jalan tengahnya mungkin seperti yang dianjurkan sejumlah pihak meski tidak dianjurkan kelompok kesehatan, yakni menyelenggarakan pilkada secara terbatas, di daerah yang masuk zona hijau. 

Masalahnya, opsi ini pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi klaster covid pilkada di berbagai daerah. Bukan karena soal kampanye. Kampanye adalah hal yang bisa diatur lebih lanjut. Melainkan, ketika publik memilih. Mekanisme dan instrumen yang dimiliki saat ini, tidak bisa menjamin tidak adanya kerumunan saat hari-H memilih. Belum lagi kita harus memikirkan pada Desember, diprediksi, ada 7.000 kasus per hari. 

Dan satu hal lagi, akhir pekan lalu, Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Energi, Luhut B Pandjaitan mengatakan, ada skenario vaksinasi massal pada Desember. Meski begitu, tidak ada jaminan apa pun vaksin benar-benar tersedia pada tahun ini. Artinya, akan ada dua peristiwa yang berpotensi memicu kerumunan massa besar dalam satu bulan. 

Dengan argumen-argumen di atas, jelas sudah seharusnya apa yang mesti pemerintah lakukan. Kita juga perlu menggugah para kandidat calon kepala daerah. Yang jumlahnya ratusan dan sebagian sempat terjangkit Covid-19. Bila mereka dengan mudah bisa terkena, dan para menteri, bagaimana dengan rakyat di akar rumput yang mereka jadikan lumbung suara?

Ironis tentu. Karena dalam kampanye nanti, bila tetap dilakukan, para kandidat akan saling mengaku paling mengerti dan memahami rakyat. Namun, para kandidat inilah yang mengirim rakyat pemilih mereka berhadapan paling depan dengan Covid-19. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat