Seorang tenaga kesehatan berjalan di area Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19, Wisma Atlet Kemayoran, di Jakarta, Rabu (16/9). | Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Beban Ganda Para Penyintas

Para pasien dan keluarga terdampak Covid-19 kerap mendapat stigma.

Terjangkit Covid-19 bukan cobaan yang mudah bagi sebagian besar orang. Pada masa pandemi ini, Covid-19 menjadi jenis penyakit dengan banyak nuansa, bukan hanya memengaruhi kesehatan, melainkan juga kehidupan sosial pengidapnya. Jurnalis Republika, Fauziah Mursid, menuturkan pengalamannya terjangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit tersebut. Berikut tulisan bagian keduanya.

Sepanjang pandemi Covid-19 ini, sehubungan pos tempat saya meliput, tak terhitung sudah berita yang ditulis terkait wabah tersebut. Mulai dari upaya penanganan hingga kritik terhadap kesigapan pemerintah menanggulangi wabah. Selain itu, juga komentar para pejabat dan kesulitan di lapangan. Namun, menulis berita tentang wabah tersebut dan berhadapan langsung dengannya adalah dua hal yang jauh berbeda. 

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya bercerita bagaimana kami proaktif setelah rekan cuci darah satu ruangan ibu saya meninggal dan dinyatakan positif Covid-19. Sehari setelahnya, kami mendatangi puskesmas di sekitar tempat tinggal kami. Dengan maksud melapor bahwa ibu saya yang juga penyintas cuci darah kontak erat dengan pasien cuci darah yang meninggal tersebut.

Berbekal informasi yang kami tahu dari Satgas Penanganan Covid-19 selama ini, pasien kontak dengan kontak erat, apalagi memiliki penyakit penyerta seperti ibu saya, mendapat prioritas pemeriksaan. Hal ini juga untuk memastikan penyebaran Covid-19 hingga sejauh mana di tempat cuci darah ibu saya.

 
Namun, kekecewaan justru didapat. Pihak puskesmas meminta keluarga kami saat itu cukup isolasi diri, dengan alasan tidak ada gejala dan keterbatasan tes di puskesmas tersebut.
 
 

Namun, kekecewaan justru didapat. Pihak puskesmas meminta keluarga kami saat itu cukup isolasi diri, dengan alasan tidak ada gejala dan keterbatasan tes di puskesmas tersebut. Merasa tak puas, akhirnya kami mengambil jalan tes swab mandiri di salah satu RS swasta Kota Depok. Pertimbangannya, karena beliau memiliki penyakit penyerta/komorbid sehingga harus menjadi prioritas.

Dan benar saja. Sehari berikutnya, hasilnya keluar dan positif. Bahkan, setelah ibu saya positif pun, kami langsung kembali melapor ke puskesmas setempat. Namun, kami gagal bertemu dengan dokter setempat saat itu.

Bersamaan dengan itu, di rumah kami berusaha melapor ke hotline penanganan Covid Kota Depok mengenai status positif salah satu anggota keluarga kami, kondisinya, termasuk jumlah anggota keluarga. Memang benar, kami didata, tapi yang saya ingat saat itu, jangankan tindak lanjut, rekomendasi pun tidak kami dapat.

Berjam-jam setelah upaya dilakukan belum berhasil, dengan kondisi ibu saya mulai bergejala, demam tinggi, kami masih melakukan berbagai upaya. Kami mendatangi rumah sakit tempat cuci darah ibu saya, mencoba meminta rujukan agar ibu saya ini bisa dirujuk ke rumah sakit. Kalau tak salah karena swab yang dilakukan ibu saya mandiri, jadi rujukan itu tidak bisa didapat dari rumah sakit tersebut.

Akhirnya, jalan terakhir, mencari kontak Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di Kota Depok, melapor mengenai kondisi ibu kami, yang kemudian ditembuskan langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Depok. Barulah permintaan kami direspons dan ditindaklanjuti.

 
Adapun yang menjadi ganjalan hingga saat ini adalah respons yang kurang tanggap dari instansi terkait jika warga terkonfirmasi positif Covid-19. Mungkin bagi mereka yang sehat dan tidak bergejala, isolasi di rumah bisa dilakukan. 
 
 

Puskesmas di tempat tinggal kami kemudian menghubungi bapak saya, mendata secara virtual ibu saya agar dirujuk. Karena saat itu sudah sore dan mencari rumah sakit di Kota Depok yang menangani Covid-19 dan mempunyai fasilitas cuci darah agak sulit, membuat proses rujuk baru bisa dilakukan pada keesokan harinya.

Akhirnya, Sabtu pagi ibu kami berhasil dirujuk. Saya berterima kasih pada dokter di puskemas tersebut dan pihak lain untuk mengusahakan ibu saya mendapat rujukan di rumah sakit Kota Depok.

Adapun yang menjadi ganjalan hingga saat ini adalah respons yang kurang tanggap dari instansi terkait jika warga terkonfirmasi positif Covid-19. Mungkin bagi mereka yang sehat dan tidak bergejala, isolasi di rumah bisa dilakukan. Namun, tidak halnya bagi mereka yang bergejala. Tak membantu tak apa, setidaknya berempati. Jika tak mampu berempati, setidaknya jangan menyakiti.

Stigma lingkungan

Disadari atau tidak, status dengan Covid-19 di keluarga tertentu juga amat berpengaruh di lingkungan. Itu juga yang dialami keluarga saya. Setelah terdampak, baru saya memahami bagaimana informasi yang menakutkan mengenai Covid-19 berdampak pada kami.

Sesaat setelah ibu saya dinyatakan positif Covid-19, bapak yang menyadari prinsip keterbukaan di tengah lingkungan padat langsung mengabari perangkat RT dan RW setempat. Tujuannya mengabarkan keluarga kami tengah isolasi mandiri. 

Karena saat itu kami masih belum mengetahui status anggota keluarga lainnya. Apalagi, saat itu halaman depan rumah kami menjadi jalan lintas bagi para tetangga lainnya. Beruntung, perangkat RT di rumah kami tanggap, langsung mendatangi kami, tentu dengan menggunakan masker, menjaga jarak di luar rumah untuk menanyakan kondisi ibu saya dan keluarga kami.

Lalu bagaimana tetangga sekitar? Ada yang menutup pintu rapat-rapat. Istilahnya kalau bisa lubang udara jangan sampai terbuka karena keberadaan kami. Ada yang menutup akses jalan ke rumah kami dengan bambu. Belum lagi, kata-kata yang kami tak sengaja dengar jika ada orang yang tetap melewati rumah kami.

Namun, tidak sedikit juga tetangga atau kerabat lainnya yang berupaya menyemangati atau sekadar memberi sesuatu dengan menaruh di depan pagar rumah kami. Saat itu rasanya ingin mengatakan tidak ada orang yang ingin terinfeksi virus ini. Pun halnya kami. Apalagi, kami tahu betul, kondisi ibu saya yang memiliki penyakit penyerta.

Berbagai pencegahan sudah kami lakukan. Mengurangi intensitas kegiatan di luar rumah maupun kerumunan. Khususnya saya, satu-satunya orang rumah yang kerap bekerja ke luar rumah, sudah sejak Maret bekerja dari rumah.

 
Lalu bagaimana tetangga sekitar? Ada yang menutup pintu rapat-rapat. Istilahnya kalau bisa lubang udara jangan sampai terbuka karena keberadaan kami. Ada yang menutup akses jalan ke rumah kami dengan bambu. 
 
 

Bahkan, saat hari Lebaran, saya ingat, kami termasuk keluarga yang menutup pintu rapat-rapat untuk menahan diri adanya silaturahim secara langsung. Tujuannya tak lain untuk mencegah penyebaran virus itu di keluaga kami.

Jika diibaratkan peribahasa, “Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih”. Justru penularan kami dapat dari rumah sakit tempat ibu saya menjalani terapi cuci darah atau hemodialisa. 

Hal-hal semacam itu sebenarnya selama ini kerap didengar dari berbagai media massa, lazim dirasakan oleh para penyintas, maupun keluaga dari penyintas Covid-19 di lingkungannya. Namun, saya tidak pernah membayangkan kejadian itu menimpa keluarga saya.

Alasan beban lingkungan itu juga yang membuat saya memutuskan untuk melakukan isolasi di Wisma Atlet Kemayoran. Terlebih, seusai tes swab saya menunjukkan hasil positif sepekan setelah ibu saya dinyatakan positif Covid-19.

Ternyata di Wisma Atlet pun, alasan ini kerap saya dengar dari penyintas Covid-19 lainnya. Alasan beban lingkungan, sementara diri sendiri harus fokus pada penyembuhanlah yang membuat akhirnya pergi dari lingkungan untuk mengurangi beban pikiran. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat