Nasional
PDIP dan Fenomena Calon Tunggal
Calon tunggal dinilai cenderung menimbulkan potensi pelanggaran pemilihan.
JAKARTA — Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan, 12 bakal calon di 28 daerah yang berpotensi calon tunggal dalam Pilkada 2020 memiliki hubungan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Mulai dari kader partainya sendiri, pejawat kepala daerah yang sebelumnya diusung PDIP, serta calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan politikus PDIP.
"Saya menemukan bahwa 12 dari 28 itu hampir setengah, daerah yang punya calon tunggal ternyata punya hubungan dengan PDI Perjuangan," ujar Arya dalam diskusi daring, Rabu (9/9).
Ia memerinci, delapan bakal calon merupakan pejawat, satu terkait dengan dinasti politik, dan satu menjabat anggota DPRD. Kemudian, dua bakal calon wakil kepala daerah ialah satu wakil bupati dan satu orang berlatar belakang pengusaha berhubungan politik dengan PDIP. "Hampir setengah calon tunggal itu punya hubungan politik, mayoritas sebagai kader, semuanya mungkin kader PDIP," kata Arya.
Ia menjelaskan, salah satu faktor yang membuat calon tunggal menguat adalah basis partai. Sebagian besar daerah yang diisi oleh calon tunggal merupakan basis kuat salah satu partai seperti di Kebumen, Wonosobo, Boyolali, Semarang, Grobogan, Badung, Ngawi, dan Kediri.
Selain itu, faktor lain yang membuat kondisi calon tunggal menguat ialah status pejawat kepala daerah. Sebab, 23 dari 28 daerah yang berpotensi calon tunggal diikuti oleh pejawat. Kemudian, 10 dari 23 pejawat adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kembali berpasangan.
Faktor itu kemudian ditambah dengan situasi pandemi Covid-19 yang membuat biaya politik makin mahal. Menurut Arya, kandidat yang tidak populer akan berpikir seribu kali untuk mencalonkan diri di pilkada karena biaya yang akan dikeluarkan tinggi, mulai dari pencalonan, kampanye, saksi, hingga proses sengketa.
"Dengan situasi pandemi, siapa yang mau biayai orang, pemodal politik pasti berhitung sekali untuk apakah akan investasi ke kandidat dalam situasi bisnis yang enggak pasti," tutur dia.
Menurut Arya, saat ini, sejumlah politikus lebih memilih menyimpan modalnya untuk berinvestasi pada pemilihan presiden dan pemilihan legislatif mendatang. Sebab, ada ketidakpastian bisnis di tengah pandemi Covid-19 seperti ini.
Faktor lain yang membuat calon tunggal semakin menguat ialah sistem dan pencalonan internal partai. Alokasi kursi per daerah pemilihan di DPRD dan tidak adanya ambang batas parlemen membuat terjadinya multipartai ekstrem.
Situasi multi partai ekstrem membuat rumitnya pembentukan koalisi karena dikombinasikan dengan persyaratakan pencalonan yang masih tinggi. Partai-partai menengah atau kecil harus melalui sejumlah lobi untuk mendapatkan pencalonan 20 persen kursi.
"Mungkin butuh dua sampai tiga partai. Suara partai-partai itu mungkin merata, dikombinasikan dengan syarat pencalonan yang tinggi. Ini yang membuat proses koalisi pencalonan tidak mudah," lanjut Arya.
Krisis demokrasi
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Muhammad Busyro Muqoddas menyebut, munculnya banyak calon tunggal menunjukkan demokrasi sedang sakit. "Demokrasi bukan saja sedang sakit, tapi semakin terpental, semakin sakit, semakin mengalami krisis jiwa," ujar Busro.
Ia menambahkan, demokrasi Indonesia juga mengalami ķrisis karena menguatnya calon kepala daerah berbasis politik dinasti. Bahkan, pada pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini, praktik politik dinasti justru dipelopori pejabat elite di tingkat pusat hingga istana yang sedang berkuasa. Misalnya, ada pejabat yang masih aktif mendorong keluarga atau kerabatnya maju dalam pilkada.
Menurut Busyro, salah satu dimensi hak asasi manusia (HAM) ialah terkait dalam bidang politik. Akan tetapi, hak asasi politik ini terhambat akibat kemunculan politik dinasti. "Mestinya, menjadi hak dari kader unggulan yang memiliki basis kecerdasan rekam jejak kejujuran, memiliki kemerakyatan, dan kematangan demokrasi itu terhambat semuanya oleh dominasi parpol," tutur Busyro.
Sementara, anggota Badan Pengawas Pemilu Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, pesimistis jumlah potensi bakal pasangan calon tunggal akan menurun meskipun ada perpanjangan pendaftaran. "Kita mungkin agak pesimistis ya akan ada pengurangan dari angka yang sudah ada saat ini," kata Ratna.
Menurut dia, terjadinya hanya satu bakal pasangan calon yang mendaftar di sejumlah daerah merupakan desain elite partai politik. Dukungan gabungan partai politik yang memiliki mayoritas kursi parlemen di daerah hanya dapat melahirkan satu pasangan calon. Ia mengatakan, mereka yang maju sebagai paslon tunggal, umumnya memiliki akses sumber daya yang besar, baik uang maupun kekuasaan.
Dengan begitu, kandidat mampu mengantongi dukungan besar atau rekomendasi partai politik. Kondisi ini membuat ruang paslon lain tertutup. Padahal, menurut Bawaslu, calon tunggal cenderung menimbulkan potensi pelanggaran pemilihan. Misalnya, praktik mahar politik hingga politik uang.
"Calon tunggal yang kemudian juga plus pejawat, akses untuk mobilisasi pemilih, kemudian melakukan intimidasi, memanfaatkan sumber daya jabatan yang dimiliki, baik fasilitas jabatan, anggaran, yang kemudian bisa digunakan untuk politik uang," ujarnya menegaskan.
Tren Calon Tunggal
Pilkada 2015: 3 daerah
Pilkada 2017: 9 daerah
Pilkada 2018: 18 daerah
Pilkada 2020: 28 daerah (sementara)
Sumber: Bawaslu
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.