Ilustrasi Usaha rintisan | Pixabay

Inovasi

Pintar Atur Napas untuk Bertahan

Pandemi membuat banyak pergeseran fokus di berbagai bidang usaha rintisan.

Pandemi Covid-19 masih belum usai dan mengakibatkan banyak aspek kehidupan berubah. Kendati demikian, tetap ada peluang dan kesempatan di tengah situasi sulit ini. 

Di Singapura, perusahaan rintisan yang kini tumbuh pesat hadir dari industri makanan, ritel dan teknologi. Sebelum pandemi, Ben Swan, dari perusahaan rintisan teknologi pertanian Singapura Sustenir, bekerja untuk membuat pasokan makanan lebih dapat diandalkan. 

Ia mengungkapkan, visi Sustenir adalah menumbuhkan masa depan yang lebih tangguh terkait pertanian vertikal di perkotaan. Salah satu pendiri dan CEO berusia 39 tahun ini meluncurkan bisnisnya di Singapura pada 2013, untuk mengatasi masalah kekurangan lahan dan kelangkaan pangan. 

Ketika virus korona muncul pada 2020, pertanian adalah salah satu industri yang pertama kali terkena dampak. Makanan di rak supermarket kosong, karena orang-orang khawatir akan kekurangan makanan di tengah penutupan perbatasan dan gangguan rantai pasokan. “Tahun ini, pandemi telah membawa lebih banyak perhatian pada masalah tersebut,” kata Swan, dilansir dari CNBC, Selasa (1/9).

Orang Singapura pun kini menjadi lebih sadar tentang dari mana produk mereka berasal. Sementara itu, penutupan perbatasan membuat beberapa makanan semakin sulit didapat. “Ada fokus besar sekarang tentang bagaimana kami meningkatkan produktivitas kami,” ujar mantan insinyur ini.

Saat ini, kurang dari 10 persen kebutuhan nutrisi Singapura diproduksi dari dalam negara tersebut. Pemerintah Singapura berharap untuk meningkatkan angkanya menjadi 30 persen pada 2030 melalui penggunaan lahan dan teknologi lebih baik, serta investasi lebih dari 215 juta dolar Amerika Serikat (AS). 

Para wirausahawan optimistis dapat membantu memosisikan perusahaan dan negara sebagai inovator pangan terdepan di masa mendatang. “Mungkin suatu hari nanti kita bisa mempertimbangkan untuk mengekspor produk tertentu ke negara tetangga,” kata Swan.

Sama seperti yang mengubah permintaan pertanian, pandemi juga mengubah kebiasaan berbelanja. Karantina wilayah nasional, kemudian menyusul  kesulitan ekonomi, membuat konsumen dan pengecer lebih sadar akan pengeluaran mereka.

Menurut Henry Chan dari platform cashback ShopBack, pandemi membuat kebiasaan berbelanja konsumen bergeser ke kebutuhan esensial, seperti bahan makanan pada awal pandemi. Selain itu, muncul pula tren produk kebugaran dan perjalanan domestik.

Sejak diluncurkan pada 2014, perusahaan rintisan Singapura itu telah memberikan cashback sebesar 115 juta dolar AS pada lebih dari 20 juta pengguna di Asia Pasifik. Pandemi pun mendorong lebih banyak pengecer untuk mendaftarkan diri di platform dalam upaya mengompensasi penjualan fisik yang hilang. 

Dari April hingga Juni, ShopBack menambahkan 500 pengecer baru, kemudian memperluas daftar 4.000 jenama termasuk Amazon, Taobao dan Expedia. “Pedagang semakin memperhatikan pengeluaran pemasaran mereka dan di situlah model pembayaran per penjualan kami selaras dengan mereka,” kata Chan. 

Hal ini, ia melanjutkan, bisa dilihat ini dari peningkatan pedagang yang bergabung dengan platform Shopback pada paruh pertama tahun ini. “Kami telah mendorong penjualan sedikit di bawah satu miliar dolar AS untuk pedagang kami,” ujar Chan. 

Fokus pada Konektivitas 

photo
Ilustrasi konektivitas di era digital - (Pixabay)

Meski pandemi mempercepat digitalisasi banyak industri, namun masih ditemukan pula kekurangan dalam infrastruktur internet global. Perusahaan rintisan komunikasi laser Transcelestial telah berupaya menjembatani kesenjangan tersebut, dengan alternatif yang lebih efisien dan lebih murah daripada layanan internet biasa.

Salah satu pendiri dan CEO Transcelestial, Rohit Jha mengungkapkan, saat melihat dunia saat ini. “Hampir separuh dunia masih belum terhubung dan kita berbicara tentang tidak ada layanan internet, bahkan konektivitas seluler dasar,” katanya. 

Produk andalan Trancelestial, perangkat nirkabel Centauri, menggunakan cahaya untuk mengirimkan data. Menurut Jha, mengirimkan data menggunakan produk tersebut lebih dapat diskalakan tanpa batas daripada kabel serat optik. 

Perangkatnya yang seukuran boks sepatu tiga kilogram, juga bisa dipasang di atas tanah oleh perusahaan telekomunikasi dalam waktu sekitar 10 menit. Jha mengatakan, efisiensi tersebut mencerminkan rencana perusahaan untuk menyediakan layanan internet yang sesuai untuk dunia yang berubah cepat. 

Saat dorongan menuju 5G memanas, teknologi itu akan menjadi lebih penting. Meksipun Singapura menempati peringkat pemimpin global untuk konektivitas internet, sebagian besar Asia Tenggara masih mengejar ketertinggalan. 

Pada 2025 mendatang, kawasan ini diharapkan menyumbang hampir sepertiga atau sekitar 29 persen dari penyebaran 5G global. Jha mengatakan sistemnya dapat mempercepat proses tersebut dengan enam hingga delapan bulan, atau bahkan satu tahun. 

Untuk mendorong visi tersebut, Transcelestial menerima 9,6 juta dolar AS dari investor pada Juli lalu, termasuk EDBI Singapura dan mitra perusahaan modal ventura Wavemaker.

 
Hampir separuh dunia masih belum terhubung dan tanpa layanan internet.
Rohit Jha, CEO Transcelestial
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat